Namanya Pak Prapto. Aku mengenalnya kemarin dengan
cara yang tak biasa. Meski aku baru beberapa saat mengenal beliau, beliau sudah
menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagiku. Di sini aku ingin menceritakan
bagaimana aku bisa menemukan sosok semulia beliau di tengah kehiruk-pikukan
kota Semarang.
Kemarin aku memutuskan pulang ke Magelang karena ada
sesuatu yang bersifat pribadi. Bukan karena aku manja, bukan, tapi karena
sesuatu yang ingin aku bicarakan 6 mata dengan orang tuaku. Ok, skip curhatanku
itu. Menurut jadwal, aku selesai kuliah Biologi pukul 11.30. Kalau aku langsung
pulang ke kost, persiapan, langsung berangkat ke terminal Banyumanik, aku akan
sampai ke Magelang sebelum Maghrib. Tapi, manusia hanya bisa berencana dan
Tuhan yang menentukan. Ternyata aku ada kuliah Bahasa Inggris bersama kakak
semester 3, 5, 7, dan 8. Oh no! Ini akibat pengganti dosen waliku yang mengharuskan
anak walinya mengambil mata kuliah yang nggak begitu aku sukai itu. Jadilah aku
selesai kuliah Bahasa Inggris pukul 3 sore. Akhirnya aku buru-buru pulang ke
kost. Untung ada Ike yang dengan baik hati me”nebeng”iku sampai kost. Alhasil
aku tidak sempat mandi, membawa kebutuhan seperlunya, dan langsung check out. Setelah pamit dengan
kakak-kakak di kost, masukin baju laundry, dan mengunci kamar kostku, aku berangkat.
Yethie menemaniku sampai ke minimarket untuk beli minuman sampai aku mendapatkan
angkot. Di sinilah perjalananku dimulai. *terus dari tadi ngapain aja*
Aku naik angkot Johar-Simpang Lima-Sampangan yang
katanya sampai depan RS Kariadi. Dengan sangat yakin menaiki angkot itu. Yang
aku tempel di kepalaku adalah “aku harus turun di depan RS Kariadi”! So, sebelum aku sampai di depan RS Kariadi, aku
nggak bakal turun dari angkot. Ternyata, sebelum sampai depan RS Kariadi, ada traffic light dan angkot itu belok ke
kiri, bukan jalan terus sampai depan RS Kariadi. Aku agak curiga, tapi karena
aku keras kepala “sebelum sampai depan RS Kariadi”, aku nggak bakal turun, aku
tenang-tenang saja. Sampai beberapa saat kemudian, angkot itu belok ke SPBU dan
aku memutuskan untuk bertanya kepada supir angkot itu, “pak, kemana bapak akan
membawaku”. *nggak begitu juga* Ternyata angkot itu mengarah ke pasar Johar dan
hanya akan kembali ke depan RS Kariadi kalau sudah sampai pasar Johar. Aku
memutuskan untuk turun di SPBU itu sebelum tersesat terlalu jauh. Untung sopir
angkot itu berbaik hati dan hanya menyuruhku membayar Rp 2000,- rupiah.
Aku menyeberang ke jalan menuju depan RS Kariadi dan
melihat bahwa jalan menuju tempat itu sangat jauh sekali. Aku merasa bahwa aku ditakdirkan
hidup di Semarang untuk berjalan kaki. Nggak kuliah, nggak foto buku angkatan,
nggak mencari makan, dan sampai pulang kampong-pun, aku harus berjalan kaki.
Aku hanya memanggil-manggil nama ibuku dan menyemangati diriku dengan tujuanku
untuk pulang ke rumah dan terbebas dari kepanasan kota Semarang. Sampai di
tengah perjalanan, di depan rumah makan Soto Pak No, aku bertemu dengan seorang
bapak tua yang menjadi tukan parkir rumah makan itu.
Ragu, akhirnya aku memutuskan untuk bertanya kepada
bapak tukang parkir itu. Aku bertanya kemana arah yang mesti aku tuju kalau mau
ke terminal Banyumanik. Akhirnya bapak itu berkata kalau jalan yang aku lalui
dilewati bis yang menuju ke terminal Banyumanik. Akhirya aku menunggu
kedatangan bis itu dengan mengobrol bersama bapak itu. Entah karena aku tak
tahu harus mencari siapa lagi, sikap waspadaku yang hilang terhadap bapak itu,
atau karena bapak itu seorang yang sangat enak diajak mengobrol, entahlah aku
tak peduli. Aku hanya terus mengobrol dengan bapak itu.
Beliau berumur 69 tahun dan menjalani pekerjaan
sebagai tukang parkir selama + 10 tahun. Melihat bagaimana beliau yang
sudah tidak muda lagi, aku salut dengan semangatnya untuk bekerja. Dua anaknya juga
telah menjadi orang-orang yang sukses. Anak pertamanya dulu sempat kuliah di
Undip juga, tetapi jurusan Hukum dan anak keduanya sudah lulus dari bangku
perkuliahan jurusan Ekonomi. Mereka berdua sekarang sudah berkeluarga dan
bekerja sebagai PNS serta tinggal di Kalimantan. Aku penasaran kenapa beliau
masih mau bekerja sebagai tukang parkir kalau anak-anaknya sudah sukses seperti
itu. Ternyata itu adalah kemauan beliau. Anak-anaknya sudah tidak menghendaki
ayahnya bekerja, tapi beliau tetap bersikukuh bekerja untuk mengisi masa
senjanya. Lebaran kemarin beliau diajak kedua anaknya untuk tinggal bersama
mereka di Kalimantan, tetapi beliau tidak mau. Alasannya adalah karena beliau
tidak mau meninggalkan pekerjaannya di Semarang. Jadilah hanya istrinya yang
ikut anak-anaknya dan meninggalkan beliau sendiri.
Aku semakin penasaran dengan bapak tukang parkir
itu. Aku lalu menanyakan dimana tempat tinggal beliau. Ternyata beliau tinggal
di Demak, tempat tinggal kakek-nenekku. Merasa sok tahu daerah Demak, aku
menanyakan desa tempat tinggal beliau. Tapi, ternyata beliau justru menceritakan
pembagian kabupaten Demak dan sejarahnya. Entah kenapa aku tidak merasa bosan
saat beliau menceritakannya, mungkin karena aku sangat tertarik dengan
kehidupan bapak itu. Usai menceritakan kabupaten Demak, beliau berkata padaku
kalau beliau tidak pernah merasa malu bekerja sebagai tukang parkir. Meski
teman-temannya sebagian menghabiskan waktu di rumah dan sebagian lagi punya
pekerjaan yang lebih tinggi, beliau tidak merasa rendah diri. Apapun pekerjaannya,
asalkan halal, semua sah-sah saja di mata beliau. Beliau justru bisa
berolahraga dengan berlari memakirkan mobil yang datang, mengobrol dengan
taruna-taruna polisi di sekitar situ, dan mengobrol dengan anak muda tersesat
sepertiku. Sungguh, berbulan-bulan aku mencari seseorang yang tulus bekerja,
baru kemarin aku menemukannya. Mungkin jika aku berperan sebagai pengunjung
rumah makan itu, dan jika saja aku tidak tersesat, aku tak akan menemukan orang
semulia bapak itu. Saking kagumnya, aku berkata kalau anak-anaknya pasti nggak
bakalan malu dan justru bangga punya ayah seperti beliau.
Setelah sekitar 30 menit aku berdiri di depan rumah
makan dan bis yang aku tunggu tidak lewat-lewat juga, akhirnya aku mendapatkan
telpon dari budheku yang tinggal di perumahan Halmahera, Semarang, dan beliau
bersama pakdheku berencana mengantarkanku ke terminal Banyumanik. Aku bertanya
pada bapak itu apa nama daerah itu, dan menjawab pertanyaan budheku kalau aku
ada di Kaligarang. Ternyata tempat itu masih sangat jauh dari Banyumanik dan
saat itu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Saat menunggu kedatangan mereka, percakapanku dengan
bapak itu berlanjut. Meski beliau baru mengenalku beberapa menit sebelumnya,
beliau khawatir kalau melihat ada anak muda, perempuan, sendirian, dan buta arah
sepertiku, menempuh perjalanan malam hari. Memang waktu itu sudah menunjukkan
pukul 5 sore dan sudah dipastikan aku akan sampai Magelang pukul 10 malam
akibat kemacetan yang tak terduga. Beliau ingin mengantarkanku terminal
Banyumanik tapi berhubung pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan, beliau
menyarankanku untuk pulang ke kost atau menginap di budheku. Beliau khawatir
bis-bis yang seharusnya lewat jalan itu sedang berdemonstrasi akibat huru-hara
yang terjadi sekitar Lebaran lalu karena bis-bis harus menuju ke terminal
Mangkang yang letaknya lumayan jauh, bukan ke terminal Terboyo yang letaknya
strategis.
Percakapan kami berlanjut hingga bertukar pendapat
tentang pemerintah yang berencana membangun jalan layang di sekitar Bandara. Berbagai
keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya beliau utarakan, dan membuatku
semakin kagum pada beliau. Lihatlah, bagaimana aku, seorang mahasiswa saja, ada
yang tak kutahu dari penuturan bapak itu yang notabene seorang tukang parkir.
Aku menjadi semakin tertarik bagaimana bapak itu mendapatkan pengetahuan yang
sedemikian luasnya. Selain karena tertarik, jujur inilah kesempatanku untuk
berlatih public speaking sebelum benar-benar menjadi dokter nantinya. Beliau
ternyata suka sekali membuat kliping dari Koran dan disewakan ke anak-anak SMP
atau SMA yang membutuhkan. Beliau selalu memisahkan mana berita politik, mana
berita olahraga, mana berita tentang selebriti, dan sebagainya. Dan ternyata
bapak itu juga bekerja sebagai seorang pelatih tari dan gamelan di suatu sanggar
di Demak. Aku berkata kalau harusnya bapak itu mengajariku menari. Haha
Percakapanku sampai pada identitas sebenarnya bapak
itu. Karena aku sangat tertarik dengan orang-orang seperti bapak itu sekaligus
siapa tahu aku bisa bertemu beliau lagi, aku menanyakan namanya. Nama bapak itu
adalah pak Prapto. Ternyata dulu beliau bekerja sebagai kepala sekolah suatu SD
di Demak. Dengan percakapan kami yang itu, aku berani mengatakan siapa namaku.
Beliau berkata, “beberapa tahun lagi namanya menjadi dr. Debby Fatmala.” Amin, Ya
Allah…
Senja mulai menyinari Semarang tercinta. Percakapanku
dengan Pak Prapto harus diakhiri mengingat mobil pakdheku sudah terlihat menuju
ke arahku. Saat budheku turun menghampiriku, budheku berkata kepada pak Prapto,
“ini keponakanmu!” Ya Allah, begitu sempitkah dunia ini? Atau betapa sayangnya
Engkau mengirimkan orang semulia beliau untukku? Kawan, bapak tukang parkir itu
adalah pakdheku, saudara sepupu dari budhe dan ibuku. Alhamdullillah, aku
bertemu dengan pak Prapto, eh Pakdhe Prapto. Ya Allah, ini tak akan terjadi
tanpa kehendak-Mu.
Itulah sekelumit ceritaku tentang seseorang yang
sangat mulia di negeri ini. Buka mata hati kita dan kita akan menemukan bahwa
di negeri yang penuh dengan kebrobokan ini, masih ada seseorang yang masih
setia mempertahankan prinsip hidup yang begitu mulia! Makasih, Ya Allah,
makasih pakdhe Prapto!