Sunday 9 September 2012

Karnaval Pembangunan Desa Kaliabu

Kemarin, hari Sabtu, tanggal 8 Sepetember 2012, desaku tercinta, desa Kaliabu, ngadain suatu event yang udah 5 tahun lebih enggak aku liat. Beruntungnya aku memutuskan hari Jumat pulang ke Magelang, so aku bisa melihat live "Karnaval Pembangunan Desa Kaliabu". Berbagai kesenian tradisional, ungkapan rakyat kecil, kerajinan tangan, dan sebagainya, di'arak' sepanjang lebih dari 8 km. Penontonnya tak hanya masyarakat dari desaku saja, tapi juga desa sebelah, dan bahkan wisatawan asing. Aku bangga terlahir menjadi bagian dari desa kecilku ini. Meski sederhana, setidaknya masyarakat desaku telah memberikan konstribusi terhadap kelestarian budaya bangsa, khususnya dari Magelang. Let's check it out! Inilah sekelumit "view of my village".

Saturday 8 September 2012

Pahlawan Itu Bernama Pak Prapto



Namanya Pak Prapto. Aku mengenalnya kemarin dengan cara yang tak biasa. Meski aku baru beberapa saat mengenal beliau, beliau sudah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagiku. Di sini aku ingin menceritakan bagaimana aku bisa menemukan sosok semulia beliau di tengah kehiruk-pikukan kota Semarang.
Kemarin aku memutuskan pulang ke Magelang karena ada sesuatu yang bersifat pribadi. Bukan karena aku manja, bukan, tapi karena sesuatu yang ingin aku bicarakan 6 mata dengan orang tuaku. Ok, skip curhatanku itu. Menurut jadwal, aku selesai kuliah Biologi pukul 11.30. Kalau aku langsung pulang ke kost, persiapan, langsung berangkat ke terminal Banyumanik, aku akan sampai ke Magelang sebelum Maghrib. Tapi, manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan. Ternyata aku ada kuliah Bahasa Inggris bersama kakak semester 3, 5, 7, dan 8. Oh no! Ini akibat pengganti dosen waliku yang mengharuskan anak walinya mengambil mata kuliah yang nggak begitu aku sukai itu. Jadilah aku selesai kuliah Bahasa Inggris pukul 3 sore. Akhirnya aku buru-buru pulang ke kost. Untung ada Ike yang dengan baik hati me”nebeng”iku sampai kost. Alhasil aku tidak sempat mandi, membawa kebutuhan seperlunya, dan langsung check out. Setelah pamit dengan kakak-kakak di kost, masukin baju laundry, dan mengunci kamar kostku, aku berangkat. Yethie menemaniku sampai ke minimarket untuk beli minuman sampai aku mendapatkan angkot. Di sinilah perjalananku dimulai. *terus dari tadi ngapain aja*
Aku naik angkot Johar-Simpang Lima-Sampangan yang katanya sampai depan RS Kariadi. Dengan sangat yakin menaiki angkot itu. Yang aku tempel di kepalaku adalah “aku harus turun di depan RS Kariadi”! So, sebelum aku sampai di depan RS Kariadi, aku nggak bakal turun dari angkot. Ternyata, sebelum sampai depan RS Kariadi, ada traffic light dan angkot itu belok ke kiri, bukan jalan terus sampai depan RS Kariadi. Aku agak curiga, tapi karena aku keras kepala “sebelum sampai depan RS Kariadi”, aku nggak bakal turun, aku tenang-tenang saja. Sampai beberapa saat kemudian, angkot itu belok ke SPBU dan aku memutuskan untuk bertanya kepada supir angkot itu, “pak, kemana bapak akan membawaku”. *nggak begitu juga* Ternyata angkot itu mengarah ke pasar Johar dan hanya akan kembali ke depan RS Kariadi kalau sudah sampai pasar Johar. Aku memutuskan untuk turun di SPBU itu sebelum tersesat terlalu jauh. Untung sopir angkot itu berbaik hati dan hanya menyuruhku membayar Rp 2000,- rupiah.
Aku menyeberang ke jalan menuju depan RS Kariadi dan melihat bahwa jalan menuju tempat itu sangat jauh sekali. Aku merasa bahwa aku ditakdirkan hidup di Semarang untuk berjalan kaki. Nggak kuliah, nggak foto buku angkatan, nggak mencari makan, dan sampai pulang kampong-pun, aku harus berjalan kaki. Aku hanya memanggil-manggil nama ibuku dan menyemangati diriku dengan tujuanku untuk pulang ke rumah dan terbebas dari kepanasan kota Semarang. Sampai di tengah perjalanan, di depan rumah makan Soto Pak No, aku bertemu dengan seorang bapak tua yang menjadi tukan parkir rumah makan itu.
Ragu, akhirnya aku memutuskan untuk bertanya kepada bapak tukang parkir itu. Aku bertanya kemana arah yang mesti aku tuju kalau mau ke terminal Banyumanik. Akhirnya bapak itu berkata kalau jalan yang aku lalui dilewati bis yang menuju ke terminal Banyumanik. Akhirya aku menunggu kedatangan bis itu dengan mengobrol bersama bapak itu. Entah karena aku tak tahu harus mencari siapa lagi, sikap waspadaku yang hilang terhadap bapak itu, atau karena bapak itu seorang yang sangat enak diajak mengobrol, entahlah aku tak peduli. Aku hanya terus mengobrol dengan bapak itu.
Beliau berumur 69 tahun dan menjalani pekerjaan sebagai tukang parkir selama + 10 tahun. Melihat bagaimana beliau yang sudah tidak muda lagi, aku salut dengan semangatnya untuk bekerja. Dua anaknya juga telah menjadi orang-orang yang sukses. Anak pertamanya dulu sempat kuliah di Undip juga, tetapi jurusan Hukum dan anak keduanya sudah lulus dari bangku perkuliahan jurusan Ekonomi. Mereka berdua sekarang sudah berkeluarga dan bekerja sebagai PNS serta tinggal di Kalimantan. Aku penasaran kenapa beliau masih mau bekerja sebagai tukang parkir kalau anak-anaknya sudah sukses seperti itu. Ternyata itu adalah kemauan beliau. Anak-anaknya sudah tidak menghendaki ayahnya bekerja, tapi beliau tetap bersikukuh bekerja untuk mengisi masa senjanya. Lebaran kemarin beliau diajak kedua anaknya untuk tinggal bersama mereka di Kalimantan, tetapi beliau tidak mau. Alasannya adalah karena beliau tidak mau meninggalkan pekerjaannya di Semarang. Jadilah hanya istrinya yang ikut anak-anaknya dan meninggalkan beliau sendiri.
Aku semakin penasaran dengan bapak tukang parkir itu. Aku lalu menanyakan dimana tempat tinggal beliau. Ternyata beliau tinggal di Demak, tempat tinggal kakek-nenekku. Merasa sok tahu daerah Demak, aku menanyakan desa tempat tinggal beliau. Tapi, ternyata beliau justru menceritakan pembagian kabupaten Demak dan sejarahnya. Entah kenapa aku tidak merasa bosan saat beliau menceritakannya, mungkin karena aku sangat tertarik dengan kehidupan bapak itu. Usai menceritakan kabupaten Demak, beliau berkata padaku kalau beliau tidak pernah merasa malu bekerja sebagai tukang parkir. Meski teman-temannya sebagian menghabiskan waktu di rumah dan sebagian lagi punya pekerjaan yang lebih tinggi, beliau tidak merasa rendah diri. Apapun pekerjaannya, asalkan halal, semua sah-sah saja di mata beliau. Beliau justru bisa berolahraga dengan berlari memakirkan mobil yang datang, mengobrol dengan taruna-taruna polisi di sekitar situ, dan mengobrol dengan anak muda tersesat sepertiku. Sungguh, berbulan-bulan aku mencari seseorang yang tulus bekerja, baru kemarin aku menemukannya. Mungkin jika aku berperan sebagai pengunjung rumah makan itu, dan jika saja aku tidak tersesat, aku tak akan menemukan orang semulia bapak itu. Saking kagumnya, aku berkata kalau anak-anaknya pasti nggak bakalan malu dan justru bangga punya ayah seperti beliau.
Setelah sekitar 30 menit aku berdiri di depan rumah makan dan bis yang aku tunggu tidak lewat-lewat juga, akhirnya aku mendapatkan telpon dari budheku yang tinggal di perumahan Halmahera, Semarang, dan beliau bersama pakdheku berencana mengantarkanku ke terminal Banyumanik. Aku bertanya pada bapak itu apa nama daerah itu, dan menjawab pertanyaan budheku kalau aku ada di Kaligarang. Ternyata tempat itu masih sangat jauh dari Banyumanik dan saat itu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Saat menunggu kedatangan mereka, percakapanku dengan bapak itu berlanjut. Meski beliau baru mengenalku beberapa menit sebelumnya, beliau khawatir kalau melihat ada anak muda, perempuan, sendirian, dan buta arah sepertiku, menempuh perjalanan malam hari. Memang waktu itu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan sudah dipastikan aku akan sampai Magelang pukul 10 malam akibat kemacetan yang tak terduga. Beliau ingin mengantarkanku terminal Banyumanik tapi berhubung pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan, beliau menyarankanku untuk pulang ke kost atau menginap di budheku. Beliau khawatir bis-bis yang seharusnya lewat jalan itu sedang berdemonstrasi akibat huru-hara yang terjadi sekitar Lebaran lalu karena bis-bis harus menuju ke terminal Mangkang yang letaknya lumayan jauh, bukan ke terminal Terboyo yang letaknya strategis.
Percakapan kami berlanjut hingga bertukar pendapat tentang pemerintah yang berencana membangun jalan layang di sekitar Bandara. Berbagai keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya beliau utarakan, dan membuatku semakin kagum pada beliau. Lihatlah, bagaimana aku, seorang mahasiswa saja, ada yang tak kutahu dari penuturan bapak itu yang notabene seorang tukang parkir. Aku menjadi semakin tertarik bagaimana bapak itu mendapatkan pengetahuan yang sedemikian luasnya. Selain karena tertarik, jujur inilah kesempatanku untuk berlatih public speaking sebelum benar-benar menjadi dokter nantinya. Beliau ternyata suka sekali membuat kliping dari Koran dan disewakan ke anak-anak SMP atau SMA yang membutuhkan. Beliau selalu memisahkan mana berita politik, mana berita olahraga, mana berita tentang selebriti, dan sebagainya. Dan ternyata bapak itu juga bekerja sebagai seorang pelatih tari dan gamelan di suatu sanggar di Demak. Aku berkata kalau harusnya bapak itu mengajariku menari. Haha
Percakapanku sampai pada identitas sebenarnya bapak itu. Karena aku sangat tertarik dengan orang-orang seperti bapak itu sekaligus siapa tahu aku bisa bertemu beliau lagi, aku menanyakan namanya. Nama bapak itu adalah pak Prapto. Ternyata dulu beliau bekerja sebagai kepala sekolah suatu SD di Demak. Dengan percakapan kami yang itu, aku berani mengatakan siapa namaku. Beliau berkata, “beberapa tahun lagi namanya menjadi dr. Debby Fatmala.” Amin, Ya Allah…
Senja mulai menyinari Semarang tercinta. Percakapanku dengan Pak Prapto harus diakhiri mengingat mobil pakdheku sudah terlihat menuju ke arahku. Saat budheku turun menghampiriku, budheku berkata kepada pak Prapto, “ini keponakanmu!” Ya Allah, begitu sempitkah dunia ini? Atau betapa sayangnya Engkau mengirimkan orang semulia beliau untukku? Kawan, bapak tukang parkir itu adalah pakdheku, saudara sepupu dari budhe dan ibuku. Alhamdullillah, aku bertemu dengan pak Prapto, eh Pakdhe Prapto. Ya Allah, ini tak akan terjadi tanpa kehendak-Mu.
Itulah sekelumit ceritaku tentang seseorang yang sangat mulia di negeri ini. Buka mata hati kita dan kita akan menemukan bahwa di negeri yang penuh dengan kebrobokan ini, masih ada seseorang yang masih setia mempertahankan prinsip hidup yang begitu mulia! Makasih, Ya Allah, makasih pakdhe Prapto!