Aku benci ruang ICU, ICCU, PICU,
NICU, apapun yang kaitannya dengan ICU. Meski profesiku kelak adalah seorang
dokter (amin!), tapi tempat itu benar-benar membuatku nggak sabar berlama-lama
di sana. Kenapa? Lihatlah saja dan buktikan sendiri. DI sana, kebahagiaan yang
ada hanyalah sebuah kebahagiaan palsu. Senyum yang ada juga hanyalah sebuah
senyum palsu. Ekspresi yang ada kalau nggak sedih, tegang, ya gelisah menunggu
suatu kepastian yang nggak tahu kapan akan dipastikan. Tempat tujuan pasien di
sana juga hanya ada dua pilihan, kalau nggak bangsal ya tempat pemulasaraan.
Baik dokter, perawat, pasien, maupun keluarga pasien berada di antara dua
dunia. Di sana pula seorang dokter memberikan putusan sulitnya, dan di sana
jugalah seorang pasien memperjuangkan kehidupannya.
Sekarang mungkin aku hanya bisa
melihat, mendengar, menerka, dan membayangkan apa yang dirasakan sang dokter
atau petugas medis di sana. Tapi mungkin beberapa tahun lagi aku akan
mengalaminya. Dan saat aku berada di posisi dokter itu, bukan sebagai keluarga
pasien seperti hari ini atau dulu, aku berharap bisa mengerti perasaan keluarga
pasien itu. Karena sungguh, di ruangan yang dekat sekali dengan ajal itu,
siapapun hanya berharap pertolongan Tuhan melalui tangan-tangan petugas medis.
So, salah sedikit bisa berakibat fatal. Apalagi bagi masyarakat awam, yang
tidak punya pengetahuan medis yang cukup. Yang dapat dilakukan hanyalah pasrah
dan mengharapkan keajaiban. Tugas dokter lah sebagai perpanjangan tangan Tuhan
di sini untuk menolong pasien itu. Padahal dokter pun hanya manusia yang hanya
bisa berusaha sebaik mungkin. Semoga saat itu tiba, aku dan teman-teman
sejawatku yang lain tidak lupa dengan hal ini. Amin, ya Allah..
No comments:
Post a Comment