Wednesday 31 July 2013

Kuasa Allah swt... Harga Mati!!

Kemarin, aku bertemu dengan adik-adik kelasku Smansa #14 dan aku bangga pada mereka. Mereka sudah mulai kepo-kepo dengan jurusan yang akan mereka ambil di perkuliahan nantinya. Aku kembali teringat dulu ketika aku kelas XII semester 1, aku sama sekali belum tahu kemana arah tujuanku. Aku masih bergelut dengan idealismeku untuk menginjakkan kaki di tanah Ganesha. Tapi, ternyata takdir mengembalikanku ke impianku sejak kecil, menekuni pendidikanku ini di tanah Diponegoro. Ya, aku selalu takjub dengan rencana Allah swt yang selalu tak terduga tapi penuh makna.

Mungkin pengalamanku ini bisa memberikan sedikit gambaran dan bisa bermanfaat untuk adik-adikku. Yah, meski hanya sederhana, tapi semoga bisa berarti. Dulu, saat kelas XII semester 1 aku benar-benar galau berat, galau segalau-galaunya, hingga aku dijuluki Lady Galau di kelasku. Aku benar-benar nggak tahu mau kuliah dimana, apa sebenarnya yang aku pengen, dan bagaimana caranya menghadapi persaingan yang sedemikian ketatnya. Belum lagi terkait masalah pribadi seperti restu orang tua, break dengan pacar, dan sebagainya. Ya, semua pikiran berkecamuk dalam otakku sampai nilai-nilaiku menjadi imbasnya. Saat itu kuasa Allah begitu besar karena Dia masih menyelamatku untuk tetap berada di tempat yang aku inginkan, bersama teman-temanku yang sangat hebat. Ya, saat itu aku masih sangat suka dengan Fisika (sampai sekarang masih suka kok) dan ingin kuliah di jurusan Teknik Sipil, di Bandung. Sampai akhir tahun 2011, aku sudah mematok bahwa aku harus kuliah di sana. Saat itu, aku juga ke sana kemari mengikuti tes potensi, tapi hasilnya justru semakin membingungkanku.

Awal tahun 2012, aku banting setir. Entah datang darimana, tiba-tiba aku melepaskan semua keinginanku itu, dan kembali pada keinginanku sejak awal, sejak dulu, sejak aku kecil, untuk mendalami ilmu kedokteran. Keinginan itu datang tiba-tiba dan terus-menerus ada di kepalaku. Meski ada rasa minder yang teramat sangat ketika melihat teman-temanku mendaftar di jurusan yang sama. Dan mereka sudah memiliki bakat sejak dulu serta memang sudah merencanakan masuk kedokteran dari awal. Sedangkan aku masih harus bergelut dengan restu orang tua dan banting setirku itu. Tapi akhirnya walau dengan segenap rasa minderku itu, aku memberanikan diri mendaftar di kedokteran.

Di semester 2 pikiranku semakin ruwet. Setelah mendaftarkan diri di jalur undangan pun aku masih dilanda kegalauan, apalagi jika menyentuh pelajaran Matematika. Aku lemah di salah satu mata pelajaran favoritku itu. Entah kenapa teman-temanku pasti lebih dulu menjawab daripada aku yang baru saja memandangi soal dan baru berpikir "maksud soalnya apa". Grafik nilaiku pun menurun. Keminderanku itu menjadikanku selalu memilih tempat duduk paling belakang, sendiri, dan dekat jendela. Pokoknya tempat orang menggalau banget lah. Guru Matematikaku tau dan aku sangat berterima kasih pada beliau. Beliau lah yang membangkitkan semangatku kembali dengan caranya tersendiri, sampai aku berani berdiskusi tentang soal yang tak kumengerti. Beliau selalu menanyaiku apa kesulitanku dan kenapa aku duduk sendiri di belakang. Dan dengan caranya tersendiri, beliau perlahan membangkitkan semangatku pada Matematika lagi.

UN datang dan aku semakin berdebar-debar, merasa belum siap amunisi dan mental. Selama 4 hari yang kulakukan hanya datang, ke mushola, masuk, ujian, pulang. Aku menghindari bertemu dengan teman-temanku karena itu akan semakin membuatku minder. Hari terakhir menjadi hari yang sangat berat buatku. Maagku kambuh dan aku harus menyelesaikan ujian itu. Tapi di situlah aku merasakan energi yang luar biasa, yang sebenarnya ada dalam diri setiap manusia, dari Allah swt. Gigih.

UN berakhir dan aku kembali dengan rutinitas menghadapi perkiraan terburuk jika tidak diterima di jalur undangan, persiapan menuju SNMPTN Tulis. Saat itu aku mulai terbiasa dengan les, ujian praktik, dan sebagainya. Fokusku hanyalah masuk PTN yang aku inginkan. Hingga akhirnya sampailah pada pengumuman kelulusan. Aku bukanlah lulusan terbaik, tidak juga ada nilai 10 di ujianku. Tapi, ada satu hal yang membanggakanku karena aku berhasil mendapatkan juara 1 UN sekota. Bagiku itu lebih dari cukup. Karena memang usahaku masih kurang keras daripada teman-temanku yang lain, jadi predikat itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Namun kebahagiaanku itu rasanya seperti hilang di telan bumi karena tepat sore harinya pengumuman jalur undangan diterbitkan. Dan aku bukanlah salah satu dari orang yang mendapatkan ucapan "Selamat, anda diterima di...". Ya, di layar monitorku hanya ada tulisan, "maaf anda belum bisa diterima di..." Senyumku runtuh seketika. Aku berjalan gontai keluar dari warnet seraya mencoba meyakinkan diri bahwa jalur undangan bukanlah satu-satunya jalan menuju PTN. Jujur yang membuatku sedih adalah ketika melihat teman-teman dekatku diterima di tempat yang mereka inginkan. Pernah timbul sesal dalam hatiku, coba aku melanjutkan mimpiku ke barat Jawa, mungkin aku bisa diterima, bukannya memaksakan nilai Biologiku yang pas-pasan. Tapi, pikiran itu langsung kuusir. Malam itu dipenuhi dengan ucapan selamat dan saling menyemangati dan aku buru-buru meminjam soal-soal dari sahabatku yang sudah diterima.

Beruntungnya aku gampang melupakan kegagalanku itu dan kembali ke tempat lesku dengan sisa-sisa semangat bertarung di SNMPTN tulis. Tapi, hatiku kembali berkecamuk antara melanjutkan impianku itu dengan mendaftar di tempat yang sama atau banting setir kembali ke keinginanku di awal kelas XII. Malam itu malam terkakhir aku berpikir sampai aku tertidur. Dan keesokan harinya, aku pergi mendaftar dengan keputusan di tanganku untuk melanjutkan mimpiku. SNMPTN menjadi jalan masuk terakhir untuk bisa masuk kedokteran, jadi aku pikir kenapa aku menyia-nyiakan kesematan itu. Hingga akhirnya tiba pada hari ujian. Ujian hari pertama membuatku down. Bahasa selalu menjadi momok yang membuatku pesimis. Tapi kembali aku mengingatkan diriku, dan lagi-lagi dengan kuasa Allah swt, aku melupakan ujian hari pertama itu dan fokus kepada ujian hari kedua. Usailah sudah pertarunganku di SNMPTN.

Hari-hari berikutnya aku dilanda ketakutan yang luar biasa. Aku mau kuliah dimana? Aku tak berhasil lolos di seleksi tahap kedua sebuah ST ternama di Indonesia dan aku tak punya cadangan PTS/ST yang lain. Bukan hanya aku, tapi orang tuaku kembali resah mengingat pilihan keduaku juga aku ambil sekenanya. Akhirnya aku mendaftar di universitas terbaik di Indonesia. Hari ujian seleksinya satu hari setelah pengumuman SNMPTN. Jadi, aku tak punya waktu untuk bersedih hati jika aku tak diterima di jalur SNMPTN itu.

Hari itu menjadi sangat bersejarah untukku. Badanku panas dan bergetar, tak henti-hentinya bibirku terkatup-katup. *lebay sih, tapi jujur itu yang aku rasakan* Aku menenangkan diri dengan shalat dan membaca Alqur'an, serta bermain rubik yang sampai sekarang pun tak bisa kuselesaikan. Ya, hari itu pengumuman SNMPTN. Selepas shalat Maghrib, kubuka laptopku, dengan sinyal seadanya, tapi masih belum ada pengumuman. Selepas shalat Isya', jam 7 lewat sedikit, barulah aku mencoba masuk halaman SNMPTN lagi. Sudah ada pengumuman, tapi saat aku login koneksi selalu terputus. Lima kali sudah aku mencoba. Sampai akhirnya halaman itu terbuka dan menampilkan warna biru, bukan lagi warna putih biasa seperti dulu. Ya, di sinilah aku sekarang, di tanah Diponegoro ini.

Ini mungkin cerita sederhana yang agak lebay. Semoga pengalamanku ini bisa bermanfaat untuk adik-adikku dan untukku sendiri, mengingatkanku pada komitmen serta tujuan awalku berada di sini. Semangat berjuang! Dan percayalah, kuasa Allah swt itu tak tertandingi. Dia selalu mengikuti prasangka hambaNya, percayalah selalu padaNya, maka Dia akan memberikan kepercayaan kepadamu, sesuai apa yang kamu butuhkan! Ok, ganbatte ne! ^^

No comments:

Post a Comment